Affandi adalah seniman Indonesia pertama yang telah dikenal oleh dunia seni internasional karena keunikan gaya ekspresionis modernnya. Pada tahun 1940an, dia terlibat dalam pembentukan komunitas seniman di Yogyakarta (bersama Soejoyono dan Hendra Gunawan). Komunitas ini kemudian menjadi institusi pengajaran seni yang sangat berarti. Pada tahun '50an dia mengadakan perjalanan dan pameran yang sangat berhasil di India dan Eropah. Karya-karyanya berubah secara dramatis dari penggunaan garis-garis yang kuat ke penggunaan jari-jari, tangan dan telapak tangannya (dengan tingkat ekspresi individunya yang tinggi). Pada tahun 1962, beliau sebagai seniman Indonesia yang pertama kali mengembangkan sebuah konsep galeri/museum pribadi/rumah di jl Solo, Yogyakarta. Ini merupakan contoh bagi seniman lainnya, apa yang bisa dilakukan untuk mereka sendiri. Affandi banyak dikagumi oleh seniman-seniman lain (beberapa malah meniru gaya Affandi yang dikenal dengan nama 'Affandi-isme’, walaupun lama setelah beliau meninggal dunia). | Potret Istriku Maryati 1938 pastel diatas kertas Mencoba dengan bermacam media dan kebanyakan melukis dengan model keluarga, potret ataupun telanjang. |
SEJARAH SENI DAN SENIMAN:
========================
CHRIS: Seniman modern yang mana yang anda suka?
AFFANDI: Ada beberapa kritikus yang mengatakan bahwa saya terlalu banyak
dipengaruhi oleh Van Gogh. Yang lain mengatakan bahwa Van Gogh dan saya berada
dalam satu perahu-perahu ekspresionisme. Ini berarti ada titik pertemuan di antara kedua
seniman ini. Tapi saya pikir Affandi adalah Affandi dan Van Gogh adalah Van Gogh,
terserah apa kata orang. Diantara seniman ekpresionisme yang saya paling sukai adalah
Edward Munch dan Toulouse Lautrec. Saya tidak begitu suka Renoir. Saya rasa lukisan
Renoir terlalu lunak. Sebagi seniman saya tidak punya pertentangan idealis dengan Renoir.
Karena saya tidak suka bukan berarti karyanya jelek.
AFFANDI: Ada beberapa kritikus yang mengatakan bahwa saya terlalu banyak
dipengaruhi oleh Van Gogh. Yang lain mengatakan bahwa Van Gogh dan saya berada
dalam satu perahu-perahu ekspresionisme. Ini berarti ada titik pertemuan di antara kedua
seniman ini. Tapi saya pikir Affandi adalah Affandi dan Van Gogh adalah Van Gogh,
terserah apa kata orang. Diantara seniman ekpresionisme yang saya paling sukai adalah
Edward Munch dan Toulouse Lautrec. Saya tidak begitu suka Renoir. Saya rasa lukisan
Renoir terlalu lunak. Sebagi seniman saya tidak punya pertentangan idealis dengan Renoir.
Karena saya tidak suka bukan berarti karyanya jelek.
CHRIS: Bagaimana kalau seniman individu harus berurusan dengan sejarah seni?
AFFANDI: Tanpa memperdulikan apakah pertanyaan ini tentang sejarah seni di
Indonesia maupun di tempat lain, itu tergantung pada pelukisnya sendiri apa yang
dia mau. Sangat sulit untuk mengetahui kebenaran atau motivasi tentang seni dari
seniman lainnya dalam sejarah seni; tapi kalau saya sendiri, tentu saya tahu. Apakah
‘seni modern’ itu di Indonesia atau di Eropah, masih tergantung pada orangnya seniman
itu sendiri sebagai individu. Itulah kebenarannya. Dalam dunia modern ini, seniman-
seniman di Indonesia tidak mau ketinggalan; tidak mau gagal; dan tidak mau tertinggal
dalam mengembangkan ide artistik mereka. Apalagi, anda ingat beberapa seniman individu
yang pintar (sebelum ilmuwan pergi ke luar angkasa) mereka sudah mengadakan perjalanan
ke luar angkasa walaupun hanya dalam imajinasinya. Ha Ha!
AFFANDI: Tanpa memperdulikan apakah pertanyaan ini tentang sejarah seni di
Indonesia maupun di tempat lain, itu tergantung pada pelukisnya sendiri apa yang
dia mau. Sangat sulit untuk mengetahui kebenaran atau motivasi tentang seni dari
seniman lainnya dalam sejarah seni; tapi kalau saya sendiri, tentu saya tahu. Apakah
‘seni modern’ itu di Indonesia atau di Eropah, masih tergantung pada orangnya seniman
itu sendiri sebagai individu. Itulah kebenarannya. Dalam dunia modern ini, seniman-
seniman di Indonesia tidak mau ketinggalan; tidak mau gagal; dan tidak mau tertinggal
dalam mengembangkan ide artistik mereka. Apalagi, anda ingat beberapa seniman individu
yang pintar (sebelum ilmuwan pergi ke luar angkasa) mereka sudah mengadakan perjalanan
ke luar angkasa walaupun hanya dalam imajinasinya. Ha Ha!
Juga, ada banyak persaingan, pertentangan, perang, banyak penderitaan sedangkan orang-orang
harus memenuhi kebutuhan dasar hidup. Saya pikir daripada melakukan hal-hal yang modern
dan pergi ke luar angkasa, lebih baik memikirkan apa yang seorang seniman bisa lakukan disini
(di bumi ini) dimana perjuangan hidup sehari-hari itu nyata sekali. Anda setuju?
harus memenuhi kebutuhan dasar hidup. Saya pikir daripada melakukan hal-hal yang modern
dan pergi ke luar angkasa, lebih baik memikirkan apa yang seorang seniman bisa lakukan disini
(di bumi ini) dimana perjuangan hidup sehari-hari itu nyata sekali. Anda setuju?
CHRIS: Tentu. Apakah anda menyarankan bahwa seni modern atau tradisionil
sebagai jalan keluar dari kemiskinan?
AFFANDI: Bukan begitu. Misalnya, saya melukis bukan untuk menjadi kaya,
bukan karena saya ingin menjadi terkenal, tapi karena harus. Ini, saya tidak
tahu namanya dalam bahasa Inggris, disini disebut ‘Panggilan Jiwa’.
Apakah saya dikenal atau tidak, apakah lukisan saya terjual atau tidak,
sebenarnya tidak penting. Hanya terus melukis, itu yang harus saya lakukan.
sebagai jalan keluar dari kemiskinan?
AFFANDI: Bukan begitu. Misalnya, saya melukis bukan untuk menjadi kaya,
bukan karena saya ingin menjadi terkenal, tapi karena harus. Ini, saya tidak
tahu namanya dalam bahasa Inggris, disini disebut ‘Panggilan Jiwa’.
Apakah saya dikenal atau tidak, apakah lukisan saya terjual atau tidak,
sebenarnya tidak penting. Hanya terus melukis, itu yang harus saya lakukan.
CHRIS: Bagaimana waktu anda di sekolah? Apakah orang tua anda mendukung pilihan karir seni anda ini? AFFANDI: Saya gagal ujian SMR. Orang tua saya bilang “Nak, cobalah satu tahun lagi, mungkin kamu bisa lulus dan bisa ke universitas. Mungkin kamu bisa menjadi insinyur seperti kakakmu, atau menjadi dokter.” Waktu itu ada tiga bersaudara dalam keluarga saya. Dua orang kakak saya, dan saya, nomor tiga. Kakak saya keduanya sudah kaya dan mempunyai kedudukan di masyarakat karena mereka insinyur. Saya sarankan kepada orang tua saya, daripada memaksa saya untuk menjadi insinyur lebih baik mengirim saya ke Sekolah Seni di Eropah. Mereka marah. Bapak saya bilang “Saya tidak mau mengeluarkan uang untuk kamu kalau kamu akhirnya hanya akan menjadi seniman miskin.” Jadi, saya tinggalkan sekolah. Mereka berusaha untuk melarang saya, namun saya nekad. Konsekwensinya ya, harus mencari pekerjaan untuk membiayai kehidupan saya sendiri. Untuk beberapa bulan, saya menjadi guru, dan malamnya jadi pemeriksa karcis bioskop di Bandung. Waktu itu, saya sering melukis gambar-gambar besar untuk iklan film. Ukuran kanvasnya besar sekali, namun cukup mudah dikerjakan karena ada fotonya. Mungkin karena itu saya mengalami kesulitan untuk membuat lukisan kecil. Sudah terbiasa membuat lukisan besar. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar