Halaman

Sabtu, 31 Juli 2010

Affandi adalah seniman Indonesia pertama
 yang telah dikenal oleh dunia seni internasional
 karena keunikan gaya ekspresionis modernnya.
 Pada tahun 1940an, dia terlibat dalam
 pembentukan komunitas seniman di Yogyakarta
 (bersama Soejoyono dan Hendra Gunawan).
 Komunitas ini kemudian menjadi institusi
 pengajaran seni yang sangat berarti. Pada tahun
 '50an dia mengadakan perjalanan dan pameran
 yang sangat berhasil di India dan Eropah.
 Karya-karyanya berubah secara dramatis dari
 penggunaan garis-garis yang kuat ke penggunaan
 jari-jari, tangan dan telapak tangannya (dengan
 tingkat ekspresi individunya yang tinggi). Pada
 tahun 1962, beliau sebagai seniman Indonesia
 yang pertama kali mengembangkan sebuah
 konsep galeri/museum pribadi/rumah di jl
 Solo, Yogyakarta. Ini merupakan contoh bagi
 seniman lainnya, apa yang bisa dilakukan untuk
 mereka sendiri. Affandi banyak dikagumi oleh
 seniman-seniman lain (beberapa malah
 meniru gaya Affandi yang dikenal dengan nama
 'Affandi-isme’, walaupun lama setelah beliau
  meninggal dunia).



Potret Istriku Maryati
 1938
pastel diatas kertas


 Mencoba dengan bermacam media
dan kebanyakan melukis dengan model
keluarga, potret ataupun telanjang.
 
SEJARAH SENI DAN SENIMAN:
========================
CHRIS: Seniman modern yang mana yang anda suka?
AFFANDI: Ada beberapa kritikus yang mengatakan bahwa saya terlalu banyak
dipengaruhi oleh Van Gogh. Yang lain mengatakan bahwa Van Gogh dan saya berada
dalam satu perahu-perahu ekspresionisme. Ini berarti ada titik pertemuan di antara kedua
seniman ini. Tapi saya pikir Affandi adalah Affandi dan Van Gogh adalah Van Gogh,
terserah apa kata orang. Diantara seniman ekpresionisme yang saya paling sukai adalah
Edward Munch dan Toulouse Lautrec. Saya tidak begitu suka Renoir. Saya rasa lukisan
Renoir terlalu lunak. Sebagi seniman saya tidak punya pertentangan idealis dengan Renoir.
Karena saya tidak suka bukan berarti karyanya jelek.
CHRIS: Bagaimana kalau seniman individu harus berurusan dengan sejarah seni?
AFFANDI: Tanpa memperdulikan apakah pertanyaan ini tentang sejarah seni di
Indonesia maupun di tempat lain, itu tergantung pada pelukisnya sendiri apa yang
dia mau. Sangat sulit untuk mengetahui kebenaran atau motivasi tentang seni dari
seniman lainnya dalam sejarah seni; tapi kalau saya sendiri, tentu saya tahu. Apakah
‘seni modern’ itu di Indonesia atau di Eropah, masih tergantung pada orangnya seniman
itu sendiri sebagai individu. Itulah kebenarannya. Dalam dunia modern ini, seniman-
seniman di Indonesia tidak mau ketinggalan; tidak mau gagal; dan tidak mau tertinggal
dalam mengembangkan ide artistik mereka. Apalagi, anda ingat beberapa seniman individu
yang pintar (sebelum ilmuwan pergi ke luar angkasa) mereka sudah mengadakan perjalanan
ke luar angkasa walaupun hanya dalam imajinasinya. Ha Ha!
Juga, ada banyak persaingan, pertentangan, perang, banyak penderitaan sedangkan orang-orang
harus memenuhi kebutuhan dasar hidup. Saya pikir daripada melakukan hal-hal yang modern
dan pergi ke luar angkasa, lebih baik memikirkan apa yang seorang seniman bisa lakukan disini
(di bumi ini) dimana perjuangan hidup sehari-hari itu nyata sekali. Anda setuju?
CHRIS: Tentu. Apakah anda menyarankan bahwa seni modern atau tradisionil
sebagai jalan keluar dari kemiskinan?
AFFANDI: Bukan begitu. Misalnya, saya melukis bukan untuk menjadi kaya,
bukan karena saya ingin menjadi terkenal, tapi karena harus. Ini, saya tidak
tahu namanya dalam bahasa Inggris, disini disebut ‘Panggilan Jiwa’.
Apakah saya dikenal atau tidak, apakah lukisan saya terjual atau tidak,
sebenarnya tidak penting. Hanya terus melukis, itu yang harus saya lakukan.
 

  CHRIS:
Bagaimana waktu anda di sekolah?
  Apakah orang tua anda mendukung pilihan
  karir seni anda ini?
  AFFANDI: Saya gagal ujian SMR. Orang tua
  saya bilang  “Nak, cobalah satu tahun lagi,
  mungkin kamu bisa lulus dan bisa ke universitas.
  Mungkin kamu bisa menjadi  insinyur seperti
  kakakmu, atau menjadi dokter.”
  Waktu itu ada tiga bersaudara dalam keluarga saya.
  Dua orang kakak saya, dan saya, nomor tiga.
  Kakak saya keduanya sudah kaya dan mempunyai
  kedudukan di masyarakat karena mereka insinyur.
  Saya sarankan kepada orang tua saya, daripada
  memaksa saya untuk menjadi insinyur lebih baik
  mengirim saya ke Sekolah Seni di Eropah.
  Mereka marah. Bapak saya bilang
  “Saya tidak mau mengeluarkan uang untuk kamu
  kalau kamu akhirnya hanya akan menjadi
  seniman miskin.”
  Jadi, saya tinggalkan sekolah. Mereka berusaha
  untuk melarang saya, namun saya nekad.
  Konsekwensinya ya, harus mencari pekerjaan
  untuk membiayai kehidupan saya sendiri.
  Untuk beberapa bulan, saya menjadi guru, dan
  malamnya jadi pemeriksa karcis bioskop
  di Bandung. Waktu itu, saya sering melukis
  gambar-gambar besar untuk iklan film.
  Ukuran kanvasnya besar sekali, namun
  cukup mudah dikerjakan karena ada fotonya.
  Mungkin karena itu  saya mengalami kesulitan
  untuk membuat lukisan kecil. 
  Sudah terbiasa membuat lukisan besar.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar